![]() |
Img source: www.inside-rge.com |
RGE merupakan induk sejumlah perusahaan yang menekuni industri sumber daya. Mereka berdiri pada 1973 dengan nama awal Raja Garuda Mas. Awalnya mereka berkecimpung dalam bidang kayu lapis, namun kini bisnisnya sudah meluas ke sektor lain mulai dari kelapa sawit, pulp and paper, selulosa spesial, viscose fibre, hingga minyak dan gas bumi.
Berkat itu, Royal Golden Eagle sudah berkembang menjadi korporasi kelas internasional. Asetnya menembus 18 miliar dolar Amerika Serikat dan mampu membuka lapangan kerja untuk 60 ribu orang.
Apical adalah salah satu anak perusahaan RGE yang bergerak dalam bidang kelapa sawit. Mereka dikenal sebagai pengekspor dan distributor minyak kelapa sawit lengkap dengan produk-produk turunan seperti makanan, oleo chemical, dan biodiesel.
Saat ini, Apical beroperasi di Indonesia dan Tiongkok. Mereka memiliki empat fasilitas pengolahan di dua negara tersebut. Berkat itu, Apical sanggup menembus kapasitas produksi hingga 4,2 juta ton per tahun.
Seperti unit bisnis Royal Golden Eagle lain, keberlanjutan menjadi perhatian serius bagi Apical. Mereka begitu ketat memerhatikannya karena ingin menjaga kelestarian alam dan meneruskan tradisi produksi bertanggung jawab yang dijalankan sejak masih bernama Raja Garuda Mas sampai sekarang.
Salah satu wujud nyata adalah kemauan untuk menjaga jalur suplai bahan baku tetap terlacak. Ini dimaksudkan sebagai kebijakan untuk membuka diri terkait asal-muasal kelapa sawit yang digunakan untuk produksi.
Belakangan ini kerusakan memang alam terus terjadi. Kondisi ini membuat banyak pihak mengajak untuk lebih peduli terhadap alam. Industri kelapa sawit juga ikut berpartisipasi. Mereka dituntut untuk transparan terkait asal bahan bakunya.
Transparansi ini termasuk ke dalam hal tersebut. Produsen seperti Apical wajib mampu menunjukkan dari mana bahan baku didapat. Dari sana bisa dilacak berbagai hal terkait keberlanjutan. Hal itu seperti detail perkebunan. Apakah dibuka tanpa membakar atau dipastikan tidak dibuat di atas hutan dengan nilai konservasi tinggi?
Itu hanya sebagian contoh. Pada intinya, keterlacakan hendak memperlihatkan bahwa kelapa sawit yang digunakan berasal dari proses yang bertanggung jawab. Hal itu diwajibkan terus berlanjut sampai ke pengolahan hingga menjadi produk yang dilepas ke pasaran.
Saat ini, publik menuntut transparansi seperti itu. Jika tidak mampu menunjukkannya, sebuah produk kelapa sawit tidak akan bisa beredar di pasar internasional.
Apical menghadapi tuntutan tersebut dengan langkah positif. Mereka menjamin keterlacakan suplai bahan bakunya. Siapa pun bisa melacak asal-muasal bahan baku dan pengelolaannya.
Sejak 2015, anak perusahaan RGE ini telah bisa memastikan keterlacakan di pusat produksinya. Secara total, ada empat pusat pengolahan yang mereka miliki di Indonesia, yakni Sari Dumai Sejati, AAJ Marunda, AAJ Tanjung Balai, dan CET. Fasilitas itu terletak di Riau, Sumatera Utara, dan Jakarta Utara.
Untuk memastikan sistem keterlacakan berlangsung baik, ada dokumen yang dinamai Traceability Declaration Document (TDD). Apical selalu memastikan untuk memperbarui TDD setiap empat bulan sekali di empat fasilitas tersebut.
Level keterlacakan berikutnya terkait dengan Tandan Buah Segar (TBS). Dalam hal ini, Apical menjalin kerja sama dengan The Forest Trust (TFT) dalam membuat metodologi keterlacakan TBS.
Apical mau melakukan hal itu karena mengejar target besar. Mereka berencana pada 2020 sudah bisa mencapai keterlacakan TBS secara penuh. Bersamaan dengan itu, unit bisnis Royal Golden Eagle tersebut terus berusaha menyelesaikan persoalan terkait keterlacakan TBS dengan para penyuplai.
Secara garis besar, Apical membagi tiga penyuplai bahan baku menjadi tiga kategori. Pertama adalah Estate yang disusul dengan Koperasi dan Dealer. Di tiga kategori itu masing-masing ada indikator untuk menunjukkan keterlacakan TBS.
MENEKANKAN KEBERLANJUTAN
![]() |
Img source: www.inside-rge.com |
Presiden Apical Group Dato Yeo How menyatakan pihak sudah mengambil sejumlah langkah penting terkait keberlanjutan. Sejak September 2014, unit bisnis RGE ini sudah menjalankan Sustainability Policy. Selain itu, mulai Mei 2015, mereka sudah menjalin relasi dengan TFT untuk memastikan implementasinya berjalan baik.
"Banyak hal yang sudah kami raih sejak peluncuran ‘dasbor’ untuk melacak masa depan," tandas Dato Yeo How.
Selain menjamin keterlacakan suplai bahan baku, banyak hal lain yang dilakukan oleh Apical demi melindungi alam. Dato Yeo How menyatakan sudah melakukan upaya supaya penyuplainya ikut aktif melakukan perlindungan terhadap hutan dengan nilai konservasi tinggi.
Bukan hanya itu, anak perusahaan grup yang lahir dengan nama Raja Garuda Mas itu juga membuktikan diri telah meraih beragam sertifikasi keberlanjutan. Hingga kini, mereka sudah menjadi anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan mendapat sertifikat International Sustainability & Carbon Certification (ISCC).
Belakangan, Apical tengah menguapayakan sertifikasi Sustainability Assurance System (SAS). Ini sejalan dengan putusan perusahaan bergabung dengan Joint Sustainable Palm Oil Manifesto (SPOM).
Sementara itu, Apical berusaha keras untuk mengembangkan penghidupan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Mereka melakukan beragam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dengan sejumlah kegiatan seperti pembuatan infrastruktur maupun kemudahan akses ke pasar.
Mereka juga memegang teguh prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Hal ini supaya hubungan dengan penduduk asli di sekitar lahan produksinya tetap terjaga baik. Perlu diketahui pelaksanaan FPIC memang menjamin relasi yang adil antara perusahaan dan komunitas asli.
"Kami di Apical siap menatap ke depan ketika kami bisa memproduksi minyak kelapa sawit berkelanjutan yang terlacak sepenuhnya dengan dukungan partner-partner bisnis kami," kata Dato Yeo How.
Langkah Apical bisa menjadi contoh bagi pihak lain. Sebagai institusi global, mereka membuktikan diri mampu menjaga produktivitas sembari mempertahankan kelestarian alam.
Posisi Apical di industri kelapa sawit tidak bisa dipandang remeh. Pada 2016, mereka baru saja mengakuisisi perusahaan biodiesel asal Spanyol, Bio-Oils. Langkah ini berarti signifikan. Kapasitas produksi diesel tahunan unit bisnis Royal Golden Eagle ini mampu meningkat sampai 60 persen. Sekarang, mereka bisa menembus 680 ribu ton setiap tahun.
Sebagai bagian dari grup RGE, Apical memang dituntut untuk menjalankan filosofi bisnis perusahaan. Di sana dikenal ada prinsip kerja 5C. Pada intinya, ini adalah arahan supaya operasional Royal Golden Eagle mampu memberi manfaat.
Oleh pendirinya, Sukanto Tanoto, Royal Golden Eagle diwajibkan untuk berguna mulai dari untuk internal perusahaan sendiri, pelanggan, hingga masyarakat dan negara. Namun, melihat kerusakan alam yang terjadi sedemikian hebat, RGE akhirnya diwajiban untuk ikut aktif menjaga keseimbangan iklim. Beragam upaya perlindungan terhadap alam seperti jaminan keterlacakan bahan baku adalah contoh nyatanya.